Rupanya pagi di Bukittinggi tidak ada ayam berkokok sama sekali. Entah emang karena Bukittinggi termasuk kota (?) atau memang ga ada warga yang miara ayam jantan. Entahlah.
Pagi sekitar pukul 8 saya check out dari hotel lantas ikut angkot merah yang lewat depan hotel menuju ke terminal Aur Kuning. Dalam perjalanan saya melihat Rumah Kelahiran Bung Hatta di pinggir jalan tapi seperti hari sebelumnya, entah kenapa saya malas mau mampir kesana. Sopir angkot menunjukkan ke saya dimana mesti menunggu angkutan traneks yang menuju ke Payakumbuh. Setelah menunggu beberapa waktu datanglah traneks yang ke Payakumbuh dan saya segera naik.
Pemandangan di sekitar jalan menuju Payakumbuh didominasi sawah-sawah yang hijau samar-samar karena tertutup kabut asap. Sebenarnya saya sedikit agak ga yakin mau ke Payakumbuh karena Payakumbuh sangat dekat dengan Riau yang artinya kemungkinan besar efek kabut asap akan cukup mengganggu disana.
“apa saya ga jadi ke Payakumbuh aja ya Ded?, kan berkabut pasti disana” tanya saya ke Dedi.
Dedi ini teman saya waktu kuliah dulu, kebetulan dia dulu pernah kerja di Payakumbuh sebelum pindah ke Solok. Rencana saya juga mau mampir ke Solok mau lihat Danau Kembar.
“wah rugi kalau sudah sampai sini (Sumbar) ga kesana Cup” katanya.
Saya bertanya ke bapak di samping saya bagaimana cara kalau mau ke lembah Harau. Beruntung saya bapak itu baik dan ramah. Bahkan dia menunjukan ke saya angkot yang mana yang mesti saya naiki bareng dia sampai terminal setelah turun dari traneks. Lantas saya mesti lanjut lagi nyambung angkot lagi setelah berpisah dengan bapak itu di terminal. Setelah angkot berjalan sekitar setengah jam sampailah saya di depan gerbang lembah Harau.
Menurut informasi yang saya dapat, jarak dari gerbang ke lembah Harau lumayan jauh sekitar 5 km. Untuk kesana bisa menggunakan becak motor. Sebelum mencari bentor saya mampir di warung ampera sebelah gerbang Harau, kebetulan saya lapar karena belum sarapan sejak berangkat dari Bukittinggi. Sarapannya nasi goreng warna warni.
Selesai makan saya menunggu bentor yang datang dan tak berapa lama datang bentor yang pengemudinya mengingatkan saya dengan bapak di rumah. Setelah tawar menawar kami sepakat bentor sampai ke dalam kena ongkos Rp15.000. Dalam perjalanan menuju Harau saya melihat loket tiket masuk tapi bapaknya bablas saja ga berhenti. Yaudah kali aja bapaknya punya fasilitas khusus buat pengemudi bentor kali ya.
Belakangan baru saya ngeh kenapa bapaknya ga berhenti, dia kira saya mau ke rumah saudara di sekitar situ jadi pas turun bapaknya nanya,
“mau ke rumah siapa ini?”
Padahal lembah Haraunya udah kelewat, lembah echo juga sudah kelewat. Akhirnya saya turun disalah satu spot wisata disitu (taman bermain anak) dekat lembah echo. Tak lupa saya minta no hape bapaknya agar mudah kalau saya minta jemput kalau mau balik lagi.
Kekhawatiran saya sejak awal benar. Kabut asap menutupi sebagian besar pemandangan di lembah Harau sehingga kurang memuaskan untuk pengunjung. Lantas saya balik jalan ke lembah echo sekedar mau nyoba teriak teriak.
Tak lama saya beranjak ke pertigaan arah ke selasah (air terjun kecil). Papan petunjuk menginformasikan bahwa selasah paling dekat 750 meter, lalu berikutnya 1 km lebih bahkan ada yang sampai 2 km lebih. Belum jalan sudah kebayang ngilu kakinya. Lagi lagi orang baik datang.
Ketika baru jalan ada orang pakai motor lewat “mau numpang sampai selasah?”.
Hah? saya baru menyadari bahwa selama perjalanan ini saya menemui banyak orang baik dan mau menolong tanpa pamrih. Mungkin karena selama di Jakarta saya banyak nemu orang yang pada egois jadi nemu orang baik rasanya senang banget.
Selasah pertama yang saya temui ga ada air terjunnya jadi saya jalan ke selasah berikutnya, nah kalau yang ini lumayan ada air terjunnya. Saya satu satunya pengunjung di waktu itu di tempat itu jadi bebas memilih spot untuk duduk di kursi yang disediakan bagi pengunjung. Tak lupa saya mencoba makanan khas yang sebenarnya di area Jam Gadang Bukittinggi juga ada yaitu lempeng yang dimakan dengan sambal sate padang.
Puas dari situ saya balik ke selasah yang pertama untuk beli jagung bakar sambil ngobrol dengan ibu yang punya warung tentang cara ke Kelok 9. Katanya sih dekat-dekat aja, palingan 15 menit kalau naik mobil. Sayangnya saya kan ngebolang ga nyewa mobil dan si ibu menyarankan aja pakai bentor lagi. Oke nanti lihat sikonlah.
Siang cepat sekali datang dan saya mesti bergegas ke Kelok 9. Masalahnya, ketika saya mau balik ke Gerbang Harau ga ada bentor di dekat selasah itu. Damn… hape ga ada signal juga jadi saya ga bisa nelpon bapak bentor yang ngantar saya tadi pagi. Terpaksa saya jalan kaki lagi. Bentuk jalan dari selasah ke Gerbang Harau itu mirip huruf U jadi kayak melingkar gitu. Nah kayaknya yang ada bentor lalu-lalang itu hanya dari gerbang Harau sampai dasar huruf U itu jadi artinya saya harus jalan sepanjang setengah U itu. Fiuhhhh.
Rupanya keberuntungan saya masih berlanjut, baru jalan sekitar 100 meter. Si ibu yang jualan jagung bakar nawarin tebengan karena dia mau ke warung yang agak gedean mau belanja. Ya rejeki anak soleh. Tapi rupanya warung itu hanya di pertengahan jarak yang mesti saya tempuh. Jadilah mesti jalan lagi.
Saya berhenti sejenak melihat panjang jalan yang mesti saya lalui. Kenapa jadi jauh gini? Rupanya sekitar 200 meter dari jalan saya berdiri ada jalan ke gerbang Harau arah sebaliknya. Akhirnya saya memutuskan memotong jalan lewat tengah sawah.
Dari kejauhan nampak bentor datang dan saya melambaikan tangan memanggil dia. Magic! Bapak bentor yang tadi pagi. Saya dan dia sama-sama ngakak. Kok bisa saya sudah menembus bukit dan sawah seharian eh ketemunya bapak ini lagi. Jodoh kali ya? *weksss
Si bapak saya minta nganterin ke Kelok 9. Sebenarnya saya agak ga yakin juga sih. Motor yang dipakai si bapak ini kayak motor tua gitu. Apa ya bisa naik ke kelok 9 nanti. Tapi ternyata bapaknya mau. Dari tawar menawar kami sepakat biayanya Rp60.000 untuk PP.
Pantas juga sih biayanya agak mahal. Lumayan jauh juga jarak antara gerbang Harau ke Kelok 9. Entah memang jauh atau karena motor yang jalannya pelan. Saya pun tak lama di Kelok 9 karena memang tak perlu lama-lama juga disini. Hanya sekedar mampir untuk melihat seperti apa sih yang namanya Kelok 9. Lantas saya balik lagi ke gerbang Harau.
Saya lihat jam tangan waktu menunjukan pukul 13.00. Di depan gerbang Harau saya nanya orang bagaimana cara ke Batusangkar. Kebetulan ada beberapa bapak yang sedang duduk berkumpul sambil ngobrol.
Ada dua opsi cara ke Batusangkar. Pertama, nunggu bus dari Pekanbaru yang langsung ke Batusangkar tapi adanya pukul 14.00 kata yang saya tanya. Kedua, ke terminal Payakumbuh dulu baru naik traneks ke Batusangkar. Saya pilih opsi pertama. Karena masih sekitar 1 jam baru ada busnya, jadi saya ijin mau makan siang dulu ke bapak-bapak yang saya tanya.
Begitu saya balik ke tempat bapak-bapak itu, beberapa orang sudah pergi. Tinggal bapak bentor yang tadi pagi dan bapak satu lagi yang bilang,
“waktu kamu makan tadi ada 2 bus ke Batusangkar yang lewat”.
Lah tadi bukannya yakin bilang jam 2 baru ada pak?. Saya tungguin sampai jam 14.30 belum ada juga bus yang lewat.
Akhirnya saya menyerah. Saya pilih opsi 2. Sambung menyambung angkot sampai saya diturunkan di depan sebuah SMP tempat orang-orang menunggu bus ke Batusangkar yang berseberangan dengan sebuah masjid besar. Lantas saya mampir ke masjid untuk solat dan bebersih badan. Tak berapa lama bus pun datang. Banyak juga orang yang menunggu bus itu datang. Untungnya saya naik duluan jadi walaupun desak-desakan saya tetap dapat tempat duduk. Ongkosnya Rp13.000.
BATUSANGKAR I am Coming !!!
Ping balik: Bukittinggi Nan Menggoda Untuk Dikunjungi Part 2 | Kubikel Yusuf
Ping balik: Istana Pagaruyung dan Festival Balapan Kuda Batusangkar | Kubikel Yusuf
Asiknya solo traveling penuh kejutan dan penuh orang2 baik ya mas 🙂
SukaSuka
Iya mas bikin nagih cuma sekarang mesti pandai pandai atur cuti, alhamdulilahnya sekarang bisa cuti sehari jadi lebih fleksibel kalau mau jalan jalan
SukaDisukai oleh 1 orang
hayok solo traveling ke merangin mas hehehe
SukaSuka