Tentang Makanan Halal di Kota Pontianak

Sebagai seorang muslim, hidup di kota Pontianak berarti harus meningkatkan level waspada ketika mencari makan. Mengapa? Karena banyak tempat makan yang dikelola etnis tertentu yang kadar kehalalan makanannya patut jadi perhatian.

Pernah suatu waktu saya baca di sebuah blog yang menyatakan “makanan dijamin halal kalau ada tulisan halal di depannya”. Sungguh pernyataan yang sangat subyektif.

Jadi awalnya saya tidak terlalu ngeh urusan kehalalan makanan di sini sampai saya iseng googling tentang makanan halal di Pontianak. Dan yang saya dapat cukup mengagetkan seperti berikut:

Terlebih awal awal saya tinggal disini, teman saya sempat ngajakin makan ke tempat makan yang cukup terkenal disini dan belakangan saya baru tahu dari page Muslim Food Indonesia kalau tempat makan itu tidak direkomendasikan karena belum ada sertifikat halal.

Terkadang saat akan makan kita percaya pada asumsi tertentu. Muslim Food Indonesia menjelaskan dalam page Facebook nya seperti berikut :

Screenshot_2018-07-29-20-07-15_com.android.chrome_1532869737469.jpg

Dan penjelasannya kayak gini:

Saya iseng nanya ke LPPOM MUI Kalbar via instagram tentang list mana aja restoran yang sudah ada sertifikasi halal dijawabnya gini ;

Entah adminnya ga nangkap pertanyaan saya atau memang listnya ga ada. Wallahuallam.

List rekomendasi tempat makan halal justru adanya di IG Muslim Food Indonesia kayak gini.

Semoga bermanfaat buat teman teman semua 🙂

Iklan

Makan Mie Ayam Pakai Ketupat di Mie Ayam Bang Adi

Mie ayam tentu sudah jamak kita temui dengan mudah di berbagai tempat dengan berbagai variasi nama, rasa dan harga. Nah kalau yang satu ini mungkin agaknya memang lain dari yang lain, bisa dibilang cara makan mie ayam ala Indonesia banget.

Kok bisa gitu? Soalnya mie ayamnya dimakan dengan kupat, Mie Ayam Bang Adi namanya di Pondok Gede Jakarta Timur. Jadi dijamin super duper kenyang. Tapi bagi yang mau hanya mie ayamnya juga bisa. Harga dijamin tidak menguras kantong. Kalau bagi gw yang paling asik adalah kita boleh nambahin daun bawang sesuai selera, hmmm lazissss.

Daun bawangnya bebas mau ambil banyak

Weekend Escape : Jalan-Jalan ke Palembang

Kesibukan dan rutinitas kantor membuat saya sudah beberapa bulan ini ga pulang kampung. Iseng-iseng saya nyari tiket kereta kalau saja masih tersedia tetapi tak satu pun tiket yang tersedia untuk waktu dekat ini. Lalu pindah ke Travelok* lihat-lihat tiket pesawat kali saja ada maskapai yang khilaf bagi bagi tiket gratis. Ada sik tiket tapi yagitu harganya sudah melambung tinggi seperti mimpi. Lalu iseng kedua kumat. Saya ganti tujuan ke Palembang karena beberapa waktu sebelumnya saya sempet kepincut makan pempek.

Weladalah ternyata tiket kesana sangat terjangkau, hampir sama dengan harga tiket kereta eksekutif kalau mau Yogya. Tanpa banyak mikir saya langsung booking tiket PP Jakarta-Palembang untuk waktu weekend. Alhamdulillah.

Ngapain aja ya entar di Palembang?

Saya browsing blog traveling untuk nyari initerary. Banyak orang yang kalau jalan-jalan milih ga pakai itin katanya lebih suka kalau ada unsur kejutan, lihat nanti ajalah. Kalau buat saya yang waktu terbatas tentu pilihan pakai itin lebih saya pilih. Tak banyak blog yang membahas traveling ke Palembang.

Seorang teman asal Palembang malah bilang “Ngapain ke Palembang? Disana ga ada apa-apa”. Glek, se-ga ada-adanya tujuan wisata ya jangan gitu dong ya. Namanya putera daerah ya minimal tahu dikit lah *dikepret duit

Beberapa tulisan merekomendasikan untuk ke pulau Kemaro tapi saya ga begitu tertarik, saya lebih suka tempat wisata yang ada unsur sejarahnya.

Sabtu pagi (25/02) saya pun ke bandara Soetta dengan naik Damri dari Pasar Minggu. Perjalanan begitu lancar padahal saya sudah agak was was kalau sampai kena macet.

Dengan naik Singa Terbang perjalanan ke Palembang pun terasa lancar karena saya ketiduran. Untung ga pakai delay ya (yang kemudian dibayar delay saat pulangnya).

Begitu sampai di bandara Sultan Mahmud Badrrudin II , saya bergegas pesan Gojek, yak Gojek sudah ada di Palembang. Tadinya saya pingin naik Trans Musi tapi kok baca baca di internet katanya sudah ga ada Trans Musi yang ke bandara karena jarang yang mau makai. Seperti halnya si kota lain,Gojek masih menimbulkan gesekan dengan ojek konvensional, buktinya saya disuruh keluar bandara dulu kalau mau naik Gojek.

Tak berapa lama Gojek pun datang dan saya minta langsung diantar ke museum Balaputera Dewa.

Museum Balaputera Dewa

Museum ini merupakan museum milik pemprov Sumatera Selatan. Secara umum museum ini memiliki koleksi dari zaman prasejarah, zaman kerajaan Sriwijaya yang mahsyur itu, zaman kerajaan kesultanan Palembang (hayo siapa yang baru tahu kalau di Palembang ada kesultanan? Saya ), dan zaman penjajahan Belanda. Koleksi koleksi itu dipajang dalam 3 ruang pameran.

Begitu masuk ruang museum kita kan melihat sedikit koleksi prasasti yang ditemukan di sekitar Palembang. Sedikit masuk ada koleksi tentang kesultanan Palembang. Tahukah kamu kalau kesultanan Palembang mempunyai kekerabatan dengan kesultanan Malaka di Malaysia. Makanya di museum ini ada galeri tentang kesultanan Malaka.

Bergeser kemudian ke koleksi zaman Sriwijaya tapi karena ruangannya gak creepy saya urung masuk. Seperti ada kata hati saya untuk nyekip aja. *bilang saja Cup malas*

 

Saya pun langsung menuju bagian luar di sebelah Selatan yang ada koleksi prasasti, sedikit banyak mengingatkan saya dengan guru guru Sejarah saya dulu. Di sebelahnya ada ruang pameran II yang isinya adalah perjalanan sejarah zaman prasejarah sampai kesultanan dan masa masa pergerakan melawan Belanda.

Teman teman yang budiman dan budiwati, coba buka uang Rp10.000 yang warnanya merah keunguan, ada gambar apa disana? Apaaaa? Ya ada gambar rumah limas. Apa itu limas anak anak? Ya gitulah pokoknya, rumah yang bentuknya gabungan antara bentuk segitiga dan segiempat. Halah. Lihat gambarnya aja ya hehe.

Setelah saya rasa cukup, saya pun jalan menuju jalan raya tapi sebelumnya saya mampir ke warung nasi Padang. Murah oei dengan udang yang lumayan banyak cuma Rp10.000.

Dengan naik Trans Musi dari halte depan rumah sakit, saya menujuke masjid raya Palembang. Oiya Palembang tuh langi ngebut bangun LRT untuk fasilitas Asian Games 2018 nanti, jadi ya gitu sepanjang jalan utama agak macet plus berdebu dimana mana.

Sampai di masjid raya, saya sholat Dhuhur bentar lalu jalan ke sebelahnya menuju Monpera atau Monumen Perjuangan Rakyat. Secara garis besar isinya nyeritain masa masa perlawanan terhadap Belanda yang dioramanya ada 8 lantai dengan ukuran per lantai yang paling cuma 3×3 meter. Nah di lantai 8 ada lubang menuju puncak monumen untuk melihat kondisi sekitar.

Sekitar 100 meter nyeberang dari Monpera, ada museum Sultan Badaruddin II. Nah kalau uang Rp10.000 itu ada gambar rumah limasnya, dibaliknya ada gambar sultan ini. Kayaknya uang Rp10.000 memang dikhususkan untuk Palembang.

Koleksi museum ini tidak terlalu banyak, kebanyakan cerita tentang kesultanan Palembang dari masa ke masa termasuk cikal bakal kerajaan Demak Bintoro di tanah Jawa dan juga kerajaan Banten yang kita kenal dengan Sultan Ageng Tirtayasa-nya.

 

Sejenak kemudian saya bergegas ke sekitar bawah jembatan Ampera sekedarpengen lihat-lihat transaksi jual beli disana. Banyak juga sih yang nawarin jikalau mau ke pulau Kemaro tapi saya ga tertarik. Saya malh naik angkot warna cokelat menuju masjid Cheng Ho.

Meskipun nanya demikian, masjid ini bisa dibilang ga ada sangkut paut langsung dengan Cheng Ho karena masjid ini dibangun komunitas Chinese Muslim Palembang, mungkin sih buat memperingati kedatangan Cheng Ho yang seorang muslim juga. Oiya masjid ini letaknya di dalam perumahan jadi kalau dari jalan raya ga kelihatan.

 

Berjalan sekitar 300 meter ini ke jalan raya, saya nyeberang menuju stadion Jakabaring. Kalau dari luar sih ya mirip mirip stadion Gelora Senayan. Karena ga bisa masuk ke dalam lihat lihat saya pun hanya sebentar disini.

Saya balik lagi dengan naik Trans-Musi menuju sekitaran Benteng Besak. Kalau didaerahlain benteng hanya dijadikan tempat kunjungan wisata beda halnya dengan museum ini karena masih digunakan untuk pos angkatan bersenjata.

Karena perut sudah lapar minta diisi, saya mampir ke Riverside, rumah makan di pinggir sungai Musi yang bentuknya seperti kapal. Saya milih kursi di ujung kapal biar bisa lihat kapal-kapal yang lalu-lalang melewati sungai Musi serta pemandangan jembatan Merah. Untuk makan saya pesan ikan patin, sayur kangkung, nasi dan minumanannya es jeruk kunci seharga Rp125.000. Lumayan mahal mengingat rasanya biasa saja, ikan patinnya juga hanya sepotong doang.

 

Karena sudah sore menjelang magrib, saya memilih kepenginapan yang sudah saya pilih yaitu Radial Mas Resto dan Kost, letaknya di sebelah hotel Santika Palembang. Tadinya saya kira harga via pegipeg* sudah paling murah eh kata yang punya gini “wah mas harga segini kalau booking langsung bisa dapat yang deluxe, lain kali booking langsung aja mas”. Bener juga sih ya, sama kayak waktu ke Purwokerto dulu juga gitu.

Malamnya saya nyobain pempek beringin yang letaknya ga jauh dari penginapan paling hanya seratus meter nyeberang jalan. Khilaf saya pesan pempek, tekwan, otak-otak dan telur Balado (kalau ga salah namanya). Baru makan tekwan sama telur aja saya sudah kekenyangan. Akhirnya, pempek sama otak-otaknya saya bungkus. Lantas manggil Gojek minta diantar ke Bentang Besak lagi karena mau lihat sikon jembatan Merah waktu malam. Dan sikonnya ternyata ramai sekali. Untuk balik ke penginapan saya milih jalan kaki biar mengurangi efek makan tadi sekalian pengen lihat lihat sikon waktu malam dan ternyata sepi.

Besoknya…