Pagi ini aku bangun dengan sedikit rasa waswas. Biasanya Sabtu adalah hariku untuk bermalas malasan, alarm nyala pencet nyala pencet lagi dan seterusnya. Kapan lagi bisa gitu kalau ga lagi weekend. Tapi tadi malam kerandomanku kumat. Sebelum tidur aku maksa pesan tiket kereta ke Purwakarta.
Tadinya sih mau naik kereta lokal tapi aku berubah pikiran. Alasannya kereta lokal dimulai dari stasiun Tanjung Priok yang artinya cukup jauh dari tempat tinggalku. Kedua, kalau ga maksa beli tiket yang pasti, paginya pasti aku malas bangun lanjutin ritual tidur Sabtu pagi.
Dilihat dari harga, sebenarnya kereta lokal sangat cocok kalau mau murah meriah. Hanya dengan Rp6.000 sudah sampai Purwakarta dengan konsekuensi harus antri, belum tentu dapat tempat duduk, dan belum pasti dapat tiketnya. Kereta Serayu adalah opsi lainnya. Harga tiketnya sepuluh kali lipat dari kereta lokal. Tak ada yang spesial di sepanjang perjalanan dari stasiun Senen sampai Purwakarta. Kanan kiri kelihatan gersang dan kering.
Bener saja begitu keluar dari stasiun Purwakarta, sinar matahari sangat menyengat. Mataku yang sudah setengah ketutup ini pun mesti lebih rapat lagi menutup. Jakarta pun tak sepanas ini sepertinya.

Kuburan gerbong KRL yang sudah tidak dipakai
Setelah membuka maps aku langsung berjalan keluar dari stasiun tapi aku agak bingung ke kiri atau ke kanan karena entah kenapa sebagai orang Jogja yang terbiasa melihat jalan dengan arah mata angin, aku agak kesulitan disini. Kontur tanahnya tidak naik turun sehingga arah utara-selatan tidak terlalu kentara. Yasudah aku ikutin kemana kaki ini melangkah.
Belum jauh berjalan, perutku memberi alarm kalau tadi pagi belum kuisi secuil pun makanan. Untunglah ada warung bakso deket situ yang kemudian aku sambangi. Sedikit yang membedakan dengan bakso lain adalah adanya potongan tulang. Oh iya Purwakarta memang punya kuliner Bakso Tulang, info dari internet yang kubaca di sepanjang perjalanan tadi. Dari abang baksonya aku pun tahu kalau aku salah arah. Untunglah ga jauh dari situ ada angkot yang akan menuju ke arah tujuanku, Waduk jatiluhur.
Menumpangi angkot no 3 aku pun menuju arah terminal Ciganea yang berlanjut dengan angkot menuju waduk Jatilur no 11. Ternyata ga terlalu jauh, tadinya kau sudah bayangin perjalanan yang akan lama karena dari baca baca di internet katanya hampir 45 menit perjalanan. Kalau menurutku sih jarak paling 5 km segitu hanya setengah jam.
Aku agak bingung mau turun dimananya. Yaudah aku pun asal minta turun saja di Dermaga Biru. Ekspektasiku lagi lagi membuatku kecewa. Waduk Jatiluhur tak seindah bayanganku. Aku penyuka pantai dan air. Jadi ketika melihat pinggiran waduk yang ala kadarnya ini, keinginanku untuk keliling lebih jauh pun pupus. Apalagi dengan cuaca yang sangat panas menyengat. Karena hari sudah siang aku pun mampir solat dan ke warung sekedar melepas dahaga dengan sebutir kelapa muda. Tak lama aku memilih kembali.
Setelah istirahat sejenak di hotel, sorenya aku keluar menuju area alun-alun. Sekitar pukul 18.00 lebih aku memasuki Situ Buleud untuk melihat pertunjukan air yang baru diresmikan tahun ini. Ternyata area di sekeliling kolam tempat air mancur penuh dengan pengunjung. Aku sedikit beruntung karena dapat tempat duduk di belakang patung karena dari arah belakangku itu sinarnya dipancarkan sehingga view yang aku dapat sangat pas. Pengunjung pun terus berdatangan sampai tumpah ruah.
Begitu pukul 19.30 acara pun dimulai. Dibuka oleh bapak Bupati , acara berlangsung meriah. Penari Jaipong membuka pertunjukan, hanya sayangnya tempat menari ada di seberang tempatku duduk sehingga tidak terlalu kelihatan. Lalu dilanjut dengan pertunjukan utama yaitu water dance.
Pertunjukan beda dengan yang ada di Singapore. Karena disini tidak bercerita tentang suatu hal, hanya atraksi air mancur saja. Tak terasa setengah jam berlalu.
Pengunjung pun beralih ke pusat kuliner malam. Tempatnya ternyata di sepanjang jalan yang siangnya kulewatin ketika keluar dari stasiun. Karena terlalu banyak orang, aku malah pusing. Akhirnya aku pun memilih kembali jalan menuju hotel setelah mampir makan sate maranggi dan bakso tulang (lagi).
***
Semalam aku tidur tidak terlalu nyenyak, hotel yang aku pesan ini jelek. Murah sekaligus murahan. Banyangkan saja toiletnya kotor, embernya item, dindingnya sudah kotor, TV nya burem dan lain-lain. Pokoknya aku nyesel booking hotel ini. lebih lagi, di sebelah hotel ini ada 2 hotel lain yang lebih bagus dengan harga yang tak beda jauh. Bedanya mereka tidak ada di aplikasi pemesanan hotel. Kesel ga sih?
Aku bergegas pergi dari hotel itu dan naik angkot no 3 menuju arah Wanayasa. Kata supir angkot aku tinggal nyambung dengan angkot warna kuning jadilah aku tak nanya lagi langsung naik aja angkot warna kuning begitu turun dari angkot no3. Aku mulai merasa ganjil ketika di pertengah jalan angkot ini belok ke arah perumahan. Cuman aku masih ragu untuk bertanya.
Begitu makin jauh dari jalan raya baru aku beranikan diri bertanya. Duh alah Gusti, ternyata angkot ini beda jurusan. Aku pun mesti naik angkot arah sebaliknya. Aku pun naik angkot warna kuning yang tidak ada pelet hijau di samping (kata supir yang sebelumnya) untuk menuju Wanayasa. Eh begitu sudah jalan angkotnya masih mesti ganti lagi karena tak semua angkot sampai di Wanayasa.
Terlebih signal hape mulai menghilang ketika memasuki pertengah arah Wanayasa. Sadar tidak sadar aku melihat plang Resort Giri Tirta Kahuripan. Aku pun meminta turun. Dari pertigaan itu, aku naik ojek menuju Resort. HTM ke resort Rp30.000 untuk keliling naik kendaraan melihat-lihat perkebunan. Sayangnya karena sedang musim kemarau tak ada buah yang bisa dicicip. Untuk masuk area kolam renang mesti bayar lagi Rp60.000. Area kolam renang sangat panas dan silau siang ini. aku pun masuk hanya karena panasaran. Tak ada yang istimewa untuk kolam renang dengan HTM segitu, apalagi tempatnya terpencil.
Aku memilih kembali ke arah kota dan mampir ke museum Panyawangan dekat stasiun Purwakarta. Museumnya bagus banget, kelihatan modern dan banyak memakai fasilitas digital. Yang jaga juga sangat ramah.
Sorenya aku pun kembali ke Jakarta dengan kereta yang sama, Serayu.