Saya mememulai ngebolang pada Jumat 23 Oktober 2015. Pagi sekali saya berangkat ke Bandara Soetta karena memang saya memilih penerbangan pagi untuk menghemat waktu sehingga siangnya saya bisa menikmati waktu di Padang Panjang. Penerbangan selama 100 menit terasa sebentar karena saya ketiduran. Maklum malam sebelumnya saya tidur jam 24.00 malam dan mesti bangun pagi jam 3.30 jadi begitu duduk di pesawat saya langsung tidur.
Bandara Minangkabau ternyata berukuran kecil tidak sebesar bayangan saya. Padahal bandara ini bisa dibilang bandara baru sebagai pengganti bandara Tabing. Area kedatangan dan keberangkatan juga cukup dekat. Saya teringat tips di internet, daripada dapat calo traneks di bandara dan harus menunggu lama ke Bukittinggi mending ngojek aja dulu. Apa yang mereka katakan benar, banyak calo yang menawarkan jasa traneks ke berbagai daerah. “saya sudah dijemput” sudah titik. Cukup dengan jawab itu dan calo itu pada mlipir. Dosa sih ya bohong gini. Tapi ya daripada repot dikejar sana-sini kan.
Singkat cerita saya ngojek ke flyover. Jarak Bandara ke flyover dekat hanya sekitar 3an km tapi kalau untuk jalan ya mending jangan. Mending jalan nanti aja pas ditempat tujuan. Sambil menunggu traneks ke Padang Panjang saya mampir beli kopi di sekitar situ. Kopinya pahit dan khas warung warung pinggiran. Kopi hitam pekat dan nikmat.
Tak berapa lama traneks ke arah Bukittinggi datang dan saya naik setelah membayar Rp30.000 ke calo bus disitu. Kebetulan di sebelah saya ada seorang ibu dan anaknya yang masih balita serta seorang pemuda. Kepada merekalah saya nanya naya ancer-ancer kalau mau ke Padang Panjang. Saya ingin mengunjungi Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau (PDIKM) yang berada di Padang Panjang.
Saya tahunya tempat ini juga ga sengaja. Waktu saya baca cerita orang ada yang bilang Taman Budaya di Padang. Nah pas saya cari informasi tentang tempat itu malah nemu informasi tentang PDIKM. Cuma sayangnya saya cek di maps tidak muncul yang muncul malah Mifan Waterpark. Setelah saya cari info lebih lanjut ternyata waterpark ini hanya depan belakang dengan PDIKM.
“uni kalau mau ke mifan waterpark di Padang Panjang apa masih jauh” saya nanya ke ibu itu.
“lo ngapain ke mifan, bukannya Dufan malah lebih bagus” kaya ibu itu. Dia menyebut Dufan karena sebelumnya saya sudah mengobrol dan bilang kalau saya dari Jakarta.
Saya minta tolong ke ibu itu untuk menunjukan tempat dimana saya harus turun. Eh ibu itu turun duluan. Tak ada rotan akar pun jadi, tak ada ibu itu pemuda sebelahnya pun jadi. Dari dialah saya tahu tempat dimana saya mesti turun. Tak lupa saya mengucapkan terima kasih waktu turun.
Hal pertama yang saya cari adalah masjid karena hari itu hari Jumat. Dari gerbang PDIKM mesti jalan sekitar 300 meter ke arah sebaliknya dari kedatangan. Selesai jumatan baru saya balik ke gerbang itu. Di gerbang itu sudan ada tukang ojek yang nawarin diantar ke PDIKM.
“ojek bang, ke PDIKM berapa bang? Rp10 ribu”
“tiga ribu aja bang” jawab bang Jek.
Hah murah amat segitu. Eh ternyata jarak gerbang ke PDIKM hanya palingan 500 meter. Pantes murah ojeknya. *jitakin blogger yang bilang jaraknya jauh*. Sudah saya bilang saya mau ke PDIKM eh bang ojek ngasih bonus sampai ke Mifan sehingga saya mesti jalan balik ke PDIKM.
PDIKM berupa rumah gadang yang ukurannya besar. Bangunan ini didirikan karena budaya Minangkabau lekat dengan bahasa lisan sehingga ditakutkan kalau tidak ada usaha untuk membuat PDKIM ini budaya Minangkabau bisa menghilang ditelan jaman. Di dalamnya ada buku dan teks teks lama tentang seluk beluk budaya Minangkabau. Tiket masuknya seharga Rp4.000.
Pas saya masuk kebetulan ada satu rombongan yang sedang datang juga sehingga uni yang jaga disitu menjelaskan dengan suaranya yang merdu tentang budaya Minangkabau sehubungan dengan rumah Gadang.
Dari penjelasan uni penjaga itu, inilah informasi yang bisa saya tangkap mengenai rumah Gadang.
Rumah Gadang di bagian pinggir ada bagian yang berundak. Fungsinya untuk keluarga itu berkumpul, yang dituakan akan berada paling puncak dan makin turun sesuai status. Di versi rumah lain ada juga yang dibuat tidak berundak.
Di bagian dalam rumah Gadang ada kamar kamar yang berukuran kecil berjejer dari ujung ke ujung. Seseorang yang baru menikah akan menempati kamar/bilik paling ujung kemudian akan bergeser ketika ada anggota keluarga lain yang menikah. Ketika sampai di kamar ujung si keluarga ini sudah harus pindah dari rumah Gadang ini. Kalau seseorang itu kaya maka tidak perlu sampai di ujung baru keluar, bisa saja segera pindah. Maksud kamar dibuat kecil agar mengingatkan suami untuk rajin bekerja.
Ketika menjamu tamu, yang punya rumah akan menghadap ke dalam sedangkan tamu menghadap keluar. Tujuannya selain supaya tamu tidak melihat ke bilik, juga agar supaya yang punya rumah mudah memberi kode ke juru masak jika ada yang perlu ditambah.
Di luar rumah Gadang, ada rumah Gadang versi kecil yang digunakan untuk menyimpan padi. Struktur rumah Gadang tahan terhadap gempa karena tidak menggunakan semen dan paku hanya menggunakan pasak.
Berikutnya adalah tentang harta. Harta dibedakan menjadi dua yaitu harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah.
Harta pusaka tinggi merupakan harta yang diperoleh dari warisan turun temurun. Karena merupakan warisan maka harta ini tidak boleh dijual karena hanya hak pakai bukan hak milik. Boleh disewakan dengan syarat hasil sewa digunakan untuk perbaikan rumah Gadang, mengurus anggota keluarga yang meninggal dan atau untuk membiayai anak yang menikah.
Harta pusaka rendah merupakan harta yang diperoleh bersama (harta gono gini) jadi bebas mau dipakai berdua.
Rasa-rasanya saya enggan berpindah dari tempat itu tapi waktu jualah yang membuat saya harus segera melanjutkan perjalanan. Niat saya mau makan siang di sekitar situ. Saya jalan ke jalan raya dan mulai nyari nyari tempat makan sampai lihat plang tempat makan yang rasanya tidak asing nama tempat makan itu. Sate Mak Syukur. Lah ini mah tempat makan yang orang-orang bilang paling enak di Padang Panjang. Tanpa babibu langsung saya pesan satu porsi sate Padang. Harga per porsi Rp23.000, setengah porsi Rp15.000. Lho kok aneh itungannya? Ya jangan protes ke saya emang gitu harganya.
Lidah saya sih Jawa banget jadi saya merasa sate ini biasa saja. Mungkin karena biasanya saya makan sate Madura yang pedes jadi sate Padang ini terasa hambar di lidah saya.
Kemudian saya naik traneks lagi ke kota berikutnya, BUKITTINGGI.
Ping balik: Solo Traveling Ke Tanah Minangkabau : 5 Hari 5 Kota 5 Cinta | Kubikel Yusuf
Ping balik: Bukittinggi Nan Menggoda Untuk Dikunjungi Part 2 | Kubikel Yusuf
Eh, kalimat yang fungsi rumah gadang sama harta tinggi harta rendah kok saya dapetin juga ya waktu ke PDIKM, jangan2 uni guide nya nih punya template apa yg mesti diucapin ke tamu di kepalanya hahaha…
SukaSuka
Kayaknya sih gitu bang, wong lancar jaya uni nya jelasinya
SukaDisukai oleh 1 orang